Penangkapan Jaksa oleh KPK di Mataram, NTB
Tertangkapnya seorang jaksa di Mataram, Nusa Tenggara Barat menambah deretan para penegak hukum, untuk kesekian kalinya, yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berikut para penegak hukum yang ditangkap:
*Sabtu 14 November 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap seorang jaksa dalam Oprasi Tangkap Tangan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Diduga menerima suap terkait kasus tanah dalam bentuk dolar Amerika dan rupiah.*Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar --kini sudah dinonaktifkan -- ditangkap di rumah dinasnya,
*Rabu, 2 Oktober 2013 di komplek perumahan Widya Chandra III, Jakarta. Selain Akil Mochtar, dalam kasus ini KPK juga ikut menahan politisi Partai Golkar, Chairnun Nisa dan Calon Bupati Gunung Mas Hambid Bintih.
*Senin 21November 2011, KPK menangkap tangan Sistoyo, jaksa yang merupakan Kasub Bagian Pembinaan di Kejaksaan Negeri Cibinong bersama pengusaha E, AB, dan satu orang driver. KPK melakukan operasi penangkapan sekitar pukul 18.00 WIB. Sebelumnya, AB datang dengan membawa uang senilai Rp 99,9 juta dalam amplop cokelat.
*Jumat 22 Maret 2013 KPK menangkap tangan wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono (ST) yang diduga sedang transaksi menerima suap dengan pihak swasta berinisial A. Penangkapan ketika itu dilakukan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 14.15 WIB.
*Sabtu, 12 Februari 2011 Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dua orang di Pondok Aren, Tangerang Selatan. Salah seorang berpofesi sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Tangerang. Proses penangkapan sempat diwarnai aksi kejar-kejaran antara KPK dengan mobil milik para tersangka.Kamis 2 Juni 2011 Hakim pengawas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifudin ditangkap KPK. Petugas KPK, ketika itu KPK memantau traksaksi serah terima Rp 250 juta tersebut. Selang 15 menit kemudian, petugas KPK merangsek masuk ke dalam rumah Syarifudin dan menangkap Syarifudin.
Sumber : TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
KOMENTAR :
Di negeri tercinta kita ini, korupsi sudah mendarah daging, sudah menjalar sedemikian rupa sama seperti penyakit kanker akut. Sampai -sampai sang penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, maupun hakim sepertinya tidak mau kalah untuk ikut-ikutan korupsi. Dengan adanya keberanian KPK yang dikomandoi oleh Abraham Samad cukup bekerja keras untuk menghilangkan atau minimal mengurangi budaya korupsi di lingkungan aparat pemerintah. Tapi ada istilah "antara maling dan polisi, jelas lebih pintar malingnya", sehingga korupsi masih berjalan dengan melenggang seolah-olah tidak takut dengan resikonya.
Sebagai permisalan, bila ada sebuah rumah digerogoti oleh rayap, maka lama kelamaan pasti rumah itu akan runtuh. Sama halnya dengan rumah Indonesia, yang digerogoti oleh para koruptor, sehingga dapat melemahkan sendi-sendi dan pondasi perekonomian Indonesia, lama kelamaan pasti rumah yang bernama negara Indonesia akan hancur secara perlahan tapi pasti. Dengan tidak meremehkan segala upaya dari pihak KPK, ada baiknya Hukum-nyalah yang harus diperbaiki. Segala jenis korupsi yang jelas-jelas merugikan negara harus diberi resiko berupa Hukuman Mati. Ini akan memberi efek takut dan jera bagi siapa saja yang hendak melakukan kegiatan korupsi baik secara pribadi maupun berjamaah.
Dasar pemikiran : bila kita membayangkan pada saat masa perjuangan merebut kemerdekaan, para pengkhianat bangsa pada waktu itu jelas hukumannya adalah hukuman mati, karena telah berkhianat kepada negara. Begitu juga kita perlakukan para koruptor yang berkhianat kepada jabatan dan negaranya, sebaiknya juga kita anggap sebagai pengkhianat bangsa seperti pada masa perjuangan merebut kemerdekaan dulu.
Cuma masalahnya siapa yang berani merubah UU yang ada dengan mencantumkan hukuman mati bagi para pengkhianat bangsa? DPR kah atau Pemerintah, atau tidak dua-duanya? Jelas pemikiran ini hanyalah sebuah wacana, atau sebuah utopia, atau sebuah angan-angan belaka...